Tulisan ini boleh jadi bikin panas mata dan telinga pembaca. Sesuatu yang akan terasa kasar, karena saya menuliskan apa adanya, berdasarkan pengalaman diri pribadi.
Dahulu ketika baru mulai bekerja, setiap kali berkunjung ke rumah Paman di Jakarta, beliau selalu bertanya, “Gajimu berapa sekarang? Cuman segitu??? Kapan balik modalnya!!!”
Mendengar pertanyaan itu, terus terang telinga saya terasa panas, jantung saya berdebar kencang, emosi saya membuncah. Paman ini gimana sih, bukannya bersyukur keponakannya sudah bekerja, eh malah diobrak-abrik soal gajinya. Kekesalan itu berlangsung cukup lama, sampai suatu saat saya mulai memahami apa maksud beliau.
Yuk, saya coba ajak teman-teman semua berpikir. Ketika dahulu mulai bekerja, take home pay saya sekitar 3,5 juta rupiah per bulan, kondisi masih lajang. Pengeluaran terbesar saya, 30% untuk makan, 20% untuk transportasi, 50% bisa saya saving. Begitu menikah, dengan income yang relatif sama, komposisi pengeluaran saya berubah menjadi 50% untuk makan, 30% transportasi, 20% untuk saving. Dengan kata lain, kemampuan menabung saya setelah menikah, dengan income yang sama, menjadi jauh lebih kecil. Seiring perjalanan waktu, karir meningkat, income meningkat, dengan komposisi pengeluaran yang masih relatif sama, saya belum mampu mengumpukan uang tabungan saya untuk membalas jasa orang tua yang telah membiaya kuliah dan hidup saya.
Saya ‘berhutang’ kepada orang tua saya sebesar kurang lebih 50 juta Rupiah, untuk biaya seluruh kuliah saya. Hingga saat ini, saya belum mampu ‘mengembalikannya’. Jika menyisihkan 500 ribu per bulan saja, saya membutuhkan waktu 100 bulan atau sekitar 8 tahun sekian bulan.
Kemudian kehidupan yang saya peroleh selama menjadi karyawan adalah sebuah bentuk rutin yang semakin hari semakin mengekang kreatifitas diri saya, dan di situ saya pun berontak menginginkan sebuah perubahan. Bersyukur saya berani dan mampu mengambil sebuah keputusan yang merubah kehidupan saya.
Dengan jalur karir yang saya pilih sekarang, saya mampu membayar ‘hutang’ saya kepada orang tua, dalam waktu yang lebih cepat. Demikian juga dengan kewajiban-kewajiban lain yang terbentuk sebelumnya.
Di era yang sudah serba disruptif ini, sebaiknya kita tidak fokus pada pekerjaan apa yang ingin kita kerjakan, melainkan kita harus fokus pada kemampuan diri apa yang ingin kita kembangkan. Di bidang bisnis, bukan soal produk atau jasa yang dijual, melainkan peluang apa yang kita bisa lihat dari sebuah situasi pasar. Di sebuah buku dikatakan, “There are no job with a future, only people with a future.” Ini berarti pekerjaan bisa silih berganti, namun manusia yang selalu belajar dan bertumbuh akan memiliki masa depan yang gemilang.
#transformtoexcellent